PENGGUNAAN
BAHASA INDONESIA YANG BAIK DAN BENAR SERTA CONTOH PENGGUNAANNYA
Bahasa
sebagai media penghatar pesan, saat ini telah mengalami ekspansi makna jika
dibandingkan dengan pada saat ditemukan untuk pertama kali. Lebih khusus
membahas bahasa Indonesia, maka tak ayal lagi dengan sangat mudah dapat kita
jumpai perkembangan makna yang ada di dalamnya. Berbagai ragam – seperti bahasa
Ngondek, Alay sampai Slank yang
sudah ada sejak dahulu – dewasa ini menjadi sebuah pola yang digunakan oleh
masyarakat di sekitar kita sebagai alat komunikasi.
Oleh sebab
itu, dapat kita simpulkan secara eksplisit bahwa pemakaian ragam baku sebagai
media komunikasi sudah amat jarang digunakan saat ini, terkecuali untuk format
acara-acara resmi baik untuk institusi swasta maupun pemerintahan.
Bicara soal
pemakaian ragam baku yang sesuai dengan kaidah EYD, maka akan muncul
pemahaman-pemahaman seperti awalan Me-N
sebagai bahan awal . Ketika dalam format baku, kita akan menemui kata-kata memesona dan memrakarsai untuk mengatakan figur yang 1) memiliki pesona dan 2)
menggerakan insiatif sebuah ide / gerakan, maka akan berbeda apabila kita
berbicara dengan rekan sejawat seperti pada contoh berikut :
“ Wuihh, kemarin liat Messi ngga bro? Mempesona banget ngelewatin Madrid!”
“ Ya wajar lah! Orang dia yang memprakarsai kegiatan itu dari awalnya”
Belum lagi
kalau kita kaji lebih dalam kaitannya dengan ragam nomina, kata kerja, kata
sifat, dan kata keterangan, yang pasti di dalamnya dapat dengan mudah kita
temui berbagai contoh yang lebih gamblang sebagai pembeda.
Untuk
nomina, kata saya sebagai penyebut
orang pertama tentulah sudah amat sangat jarang kita dengar di dalam pergaulan
antarmahasiswa atau katakanlah sesama supir angkutan umum. Sebaliknya, kata
panggilan gue, penulis menjamin bahwa
tidaklah akan digunakan pada saat Presiden SBY memimpin sidang kabinet.
Untuk ragam
kata kerja, kata malas yang memiliki
arti enggan untuk melakukan sesuatu, acap kali diucapkan bahkan dituliskan
sebagai males di dalam percakapan
sehari-harinya. Bahkan, untuk kaitannya dengan frase, maka terbentuklah
beberapa frase baru dengan merujuk pada kata males, seperti pada mager atau
males gerak.
Sehingga,
kalaupun kita hendak mengimplementasikan keseluruhaan ragam EYD secara baik dan
benar, maka sudah barang tentu dibutuhkan sebuah usaha yang gigih dan
semaksimal mungkin. Karena pada dasarnya, sikap resistensi atau penolakan
terhadap penggunaan ragam EYD bukanlah ditimbulkan dari keberatan sekelompok
orang karena merugikan mereka, melainkan karena ragam tidak baku yang mereka
gunakan, dinilai sudah cukup praktis di dalam hal implementasinya.
Hal inilah
yang pada akhirnya menjadi acuan, bahwa bahasa yang dipergunakan sebagai alat
komunikasi, cenderung bukanlah bahasa baku atau dalam hal ini bahasa
yang ragam penulisannya mengikuti kaidah yang sudah ditetapkan.
Sebaliknya,
bahasa Indonesia dengan dinamika yang semakin luas ada di masyarakat kita,
telah mengalami proses tranformasi dengan keseharian masyarakat, sehingga dapat
penulis katakan bahwa fungsi bahwa yang sesuai adalah sebagai penyampai pesan
tanpa perlu mengindahkan kaidah baku yang berlaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar